Oleh karena itu, Ibnu ‘Athaillah berkata dalam al-Hikam (Bab 17), “Peran nafsu dalam kemaksiatan itu terlihat lagi nyata, sementara perannya dalam ketaatan tidak tampak lagi tersembunyi”.
Sebagai misal, bila telah tumbuh kesadaran untuk menutup aurat di hati seorang wanita, ia akan berjilbab dan mengenakan pakaian lebih longgar. Tentu saja, ini adalah perubahan yang sangat baik dan harus diapresiasi.
Tapi, mustahil syetan diam. Ia telah bersumpah menggelincirkan manusia dari segala penjuru (lihat: QS al-A’raf: 16-17). Di titik ini, mula-mula wanita itu dirayu untuk mengurungkan niatnya dan batal berjilbab. Diciptakannya bayangan-bayangan menakutkan yang menciutkan nyalinya sehingga mundur.
Bila ia berhasil menepis bisikan-bisikan tersebut dan memutuskan untuk tetap berjilbab, apakah syetan menyerah? Tidak. Syetan maju ke tingkatan berikutnya yang sangat halus. Syetan mencampurkan hawa nafsu ke dalam amal shalihnya, sehingga tidak tulus lagi.
Mungkin, wanita itu akhirnya tetap memakai baju yang menutup seluruh auratnya, namun ukurannya ketat dan membentuk lekuk-liuk tubuh. Atau, pakaiannya cukup longgar namun warna dan modelnya mencolok sehingga menarik perhatian setiap laki-laki.
Alhasil, apa yang semula dimaksudkan untuk menyembunyikan perhiasan dan membendung fitnah, kini justru menjadi perhiasan itu sendiri dan membuka pintu-pintu fitnah lainnya.
Contoh lain, seseorang membaca hadits: “Barangsiapa yang melihat suatu kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa, maka dengan lisannya. Jika tidak bisa, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (Riwayat Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudriy). Maka, ia pun bangkit menyerukan kebajikan dan melarang kemaksiatan.
Tentu Allah sangat gembira melihat hamba-Nya berbuat demikian. Sebab, di dalam Al-Qur’an Allah menyanjung kaum muslimin dan menyifatinya sebagai kaum yang gemar beramar ma’ruf nahi munkar:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali ‘Imran: 110)
Tapi, apakah syetan diam saja? Jelas tidak. Ia akan menyerang melalui pintu yang kadang tidak tersadari.
Boleh jadi, syetan membiarkan orang itu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, namun dibisikkannya perasaan sombong, sok hebat, menganggap remeh orang lain, gemar berdebat, malas bertabayyun, mudah mengkafirkan, berani mencemarkan kehormatan orang lain, bahkan menghalalkan darah sesama muslim.
Maka, amal yang sangat mulia pun berubah menjadi alat syetan untuk merusak semua pihak, baik si penyeru maupun yang diseru. Syetan benar-benar tidak melewatkan satu celah pun dari amal shalih manusia. Kadang ia sudah puas bila berhasil membuat amal itu cacat, meski tidak batal seluruhnya.
Kasus lain bisa kita ambil dari dunia pendidikan. Mengajar dan menyebarkan ilmu adalah aktivitas yang sangat mulia. Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat! Ceritakan kisah dari Bani Israil, dan itu tidak masalah! Barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka!” (Riwayat al-Bukhari, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash).
Masih banyak hadits lain yang menganjurkan untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, Islam sangat memperhatikan pendidikan sehingga profesi guru memiliki kedudukan yang sangat terhormat di mata syariat.
Tapi, apakah syetan cuek saja menyaksikan manusia menempuh jalan ini? Pasti tidak. Ia segera menyuntikkan racun-racunnya, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.
Bila kita seorang guru/dosen, mari mengintrospeksi diri: sudah tuluskah niat kita dalam mengajarkan ilmu kepada murid/mahasiswa? Bila kita berupaya keras agar mereka meraih prestasi yang membanggakan, untuk siapakah semua itu? Benarkah demi kebaikan mereka, atau hanya untuk prestise dan gengsi kita pribadi?
Mengapa kita mati-matian mengusahakan mereka lulus Ujian Nasional (UN)? Apakah untuk menyongsong masa depan mereka sendiri, atau untuk menyelamatkan muka dan karir kita di hadapan Kepala Sekolah, pejabat Dinas Pendidikan, dan masyarakat? Apakah semua kerja keras itu betul-betul demi melestarikan ilmu pengetahuan dan dalam rangka ibadah, atau sebatas perlombaan meraih piala dan tepuk tangan manusia?
Sungguh, syetan tidak rela kita beramal shalih dan mendapat balasan sempurna. Dia selalu berusaha menyusup lalu mencemari kejernihannya.
Kita bisa meneliti setiap jengkal amal shalih yang lain dengan cara ini. Sebab, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athaillah di muka, peran nafsu di balik amal-amal shalih sangat samar dan sukar dideteksi. Jadi, waspadalah!
Sampai di sini, barangkali kita menjadi sedih mendapati banyak amal shalih yang bopeng di mana-mana. Namun, Rasulullah bersabda yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Abu Hurairah, berbunyi seperti berikut:
“Tidak seorang pun yang diselamatkan oleh amalnya,” kata Rasulullah. Para Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Tidak juga saya, kecuali jika Allah melimpahi saya dengan rahmat-Nya. Berusahalah untuk tepat dan mendekati (amal terbaik)! Beramallah di pagi hari, siang hari, dan sebagian dari penghujung malam! Bersikaplah pertengahan dalam beramal! Bersikaplah pertengahan dalam beramal! Niscaya kalian akan sampai (kepada tujuan)”.
Jadi, teruslah beramal meski berat dan selalu diintai syetan. Mintalah pertolongan Allah agar dimenangkan, dan secara bersamaan dimaafkan atas segala kekhilafan maupun kekurangsempurnaan. Wallahu a’lam.
Alimin Mukhtar
http://hidayatullah.or.id/read/berita-utama/2021/04/11/waspada-begini-cara-syetan-menunggangi-amal-shalih-kita/