Sumatera atau Sumatra? Pergulatan Antara Tradisi dan Bahasa Baku



Palembang, HidayatullahSumsel.com - Dalam sebuah acara resmi yang diadakan oleh DPW Hidayatullah Sumsel tahun lalu yakni Daurah Muallim dan Muallimat, Grand MBA, dan Metode Al-Hidayah, seorang Ustadz dari DPP Hidayatullah mengajukan pertanyaan yang memicu diskusi menarik: "Mengapa nama provinsi di backdrop masih ditulis 'Sumatera Selatan', padahal KBBI edisi kelima menetapkan ejaan yang benar adalah 'Sumatra'?" Pertanyaan ini seketika menimbulkan beragam pendapat. Ada yang menganggapnya sekadar kebiasaan yang sulit diubah, sementara yang lain melihatnya sebagai persoalan penting dalam menjaga konsistensi bahasa baku.

Ejaan nama daerah sering kali tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat, tetapi bisa menimbulkan kebingungan di kalangan tertentu. Salah satu contohnya adalah perbedaan ejaan "Sumatera" dan "Sumatra". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima, ejaan resmi yang diakui adalah "Sumatra", tetapi di berbagai dokumen resmi, termasuk kop surat Sekretariat Daerah Pemprov Sumsel, masih digunakan ejaan "Sumatera".

Lalu, mana yang sebenarnya benar? Dan mengapa perbedaan ini terjadi?

Sejarah Ejaan "Sumatra" dan "Sumatera"

Secara historis, pada tahun 1345, seorang petualang dari Maroko bernama Ibnu Batutah mengunjungi Kerajaan Samudra Pasai di pesisir timur Aceh dan melafalkan kata "Samudra" sebagai "Shumathra"Dalam perkembangannya, kata ini berubah menjadi "Sumatra". Nama "Sumatra" kemudian diabadikan dalam peta-peta buatan Portugis pada abad ke-16 dan terus dikenal hingga saat ini. Terdapat sumber lain yang menyebutkan bahwa nama "Sumatra" sudah dikenal sejak abad ke-11 pada masa Kerajaan Sriwijaya. Selain itu, kata "Sumatra" juga telah digunakan pada era kolonial, terutama dalam dokumen-dokumen resmi Belanda dan Inggris. Namun, dalam percakapan sehari-hari di Indonesia, masyarakat cenderung menambahkan huruf "e" di antara "t" dan "r", sehingga menjadi "Sumatera".

Hal ini bisa dijelaskan dengan kaidah epentesis dalam bahasa Indonesia, yaitu penambahan bunyi vokal di tengah kata untuk mempermudah pengucapan. Akibatnya, meskipun KBBI menetapkan "Sumatra" sebagai bentuk baku, ejaan "Sumatera" tetap lebih akrab di telinga masyarakat dan digunakan secara luas, termasuk dalam dokumen resmi.

Masalah Formalitas dan Konsistensi

Penggunaan ejaan "Sumatera" pada dokumen resmi seperti kop surat Sekretariat Daerah Pemprov Sumsel menimbulkan beberapa pertanyaan:
  1. Apakah instansi pemerintah wajib menggunakan ejaan sesuai KBBI?
  2. Apakah penggunaan "Sumatera" merupakan kesalahan, atau justru bagian dari penghormatan terhadap tradisi lokal?

Kop surat pemerintah Provinsi Sumatera Selatan

Bagi sebagian orang, perbedaan ejaan ini bukanlah hal besar. Namun, dalam dunia administrasi publik dan akademik, konsistensi bahasa sangat penting untuk mencerminkan profesionalisme dan kejelasan komunikasi.

Pandangan yang Berbeda

Ada dua sudut pandang utama dalam perdebatan ini:

1. Pendukung Ejaan "Sumatra"

Kelompok ini berpendapat bahwa sebagai instansi resmi, pemerintah daerah seharusnya menggunakan bahasa yang sesuai dengan pedoman KBBI. Penggunaan "Sumatera" dianggap tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dan dapat menciptakan kesan tidak konsisten dalam dokumen-dokumen resmi.

2. Pendukung Ejaan "Sumatera"

Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa "Sumatera" lebih familiar bagi masyarakat dan telah menjadi bagian dari identitas budaya setempat. Mengubahnya menjadi "Sumatra" dapat dianggap sebagai upaya yang mengabaikan kebiasaan lokal yang sudah mengakar.

Solusi: Haruskah Diseragamkan?

Untuk mengatasi dilema ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  • Sosialisasi: Edukasi mengenai ejaan baku "Sumatra" sesuai KBBI perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih memahami aturan yang berlaku.
  • Penyelarasan Administrasi: Instansi pemerintah sebaiknya menyesuaikan dokumen resmi agar mengikuti kaidah bahasa yang telah ditetapkan, guna mencegah kebingungan.
  • Mengakomodasi Tradisi Lokal: Jika ejaan "Sumatera" dianggap memiliki nilai budaya yang kuat, bisa dipertimbangkan untuk merevisi KBBI agar mengakui kedua ejaan sebagai bentuk variasi resmi.

Kesimpulan

Perbedaan ejaan "Sumatera" dan "Sumatra" bukan sekadar soal huruf, tetapi juga mencerminkan bagaimana sejarah, budaya, dan aturan bahasa saling bersinggungan. Ke depan, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencari keseimbangan antara penggunaan bahasa baku dan penghormatan terhadap tradisi lokal.

Bagaimana menurut Anda? Apakah "Sumatera" layak dipertahankan, atau sudah saatnya kita beralih ke "Sumatra"? |*Kosim

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar.
Untuk menghindari adanya spam, mohon maaf, komentar akan kami moderasi terlebih dahulu sebelum ditayangkan.

Terima kasih.