![]() |
Halaqoh di Masjid Aqshal Madinah, Hidayatullah OI |
Indralaya, HidayatullahSumsel.com - Pagi itu matahari belum sepenuhnya berani menatap bumi. Kabut masih bergelayut di antara pohon-pohon karet dan atap-atap multiroof yang mulai memantulkan cahaya lembut. Di ujung jalan tanah yang basah, kampus Pratama Hidayatullah Ogan Ilir berdiri dengan kesederhanaannya. Kampus itu tidak berbicara, tidak pula menuntut perhatian. Tapi ia menjadi saksi bagi sesuatu yang jarang dicatat manusia kota—sebuah temu penuh cinta, bukan antara kekasih, melainkan antara ruh-ruh yang dibakar oleh api perjuangan.
Hari itu, 12-13 April tahun 2025, dari berbagai sudut bumi Sumatera Selatan, datanglah orang-orang dengan wajah-wajah yang tak asing satu sama lain. Mereka bukan politisi. Mereka bukan pejabat. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih dari sekadar kuasa—mereka membawa cita. Cita tentang umat yang bangkit. Cita tentang masyarakat yang hidup bukan karena ingin hidup, tapi karena tahu untuk apa hidupnya.
Itulah Silaturahim Syawal 1446 Hijriah. Dengan tema yang tak ditulis dalam tinta emas tapi dalam denyut nadi: “Kuatkan Silaturahim, Rapatkan dan Luruskan Shaf.”
Barisan dari Pelosok
Ada yang datang dari Banyuasin, tanah rawa yang luas dan basah. Ada yang dari Palembang, Musi Rawas, Muara Enim, bahkan dari Empat Lawang—nama yang seperti puisi namun menyimpan cerita tentang getir dan gigih. Mereka datang bukan karena dijanjikan uang saku. Bukan karena dijanjikan panggung atau pujian. Tapi karena satu hal: mereka tahu betul bahwa silaturahim ini adalah pertalite ruhani yang mereka perlukan untuk terus melaju di jalan panjang, jalan sunyi bernama dakwah.
Hari pertama dimulai dengan jabat tangan dan pelukan. Sederhana memang. Tapi bagi mereka yang sehari-harinya berjibaku dengan jarak, dengan masyarakat yang belum akrab dengan huruf-huruf Alqur’an, dengan tantangan yang lebih sering sunyi daripada sorak—pelukan itu adalah penegas bahwa mereka tidak sendiri.
Di Masjid Aqshal Madinah, lantai granit yang dingin dan kipas yang berputar pelan menjadi latar dari tausiah yang datang bukan dari langit, tapi dari hati yang sudah lelah berjalan jauh. Ustadz Lukman Hakim, Ketua DPW Hidayatullah Sumsel, berbicara. Tapi yang keluar bukan hanya suara, melainkan jiwa.
Ia bercerita, bukan seperti guru kepada murid, tapi seperti ayah kepada anak-anaknya yang pulang dari merantau. Tentang Nabi Yunus. Tentang dzun-nun. Tentang kekecewaan yang membuat manusia pergi dari tugasnya. Tentang gelapnya perut ikan dan kesendirian yang menggetarkan.
“Tanpa rahmat Allah,” kata Ustadz Lukman Hakim, “Yunus tak akan keluar dari kegelapan itu. Tapi karena taubat dan keikhlasannya, Allah mengingatkan Nabi Muhammad, dan kita semua, untuk bersabar menghadapi cobaan tanpa tergesa atau putus asa. Ia dibebaskan—dan bahkan diangkat derajatnya sebagai hamba yang saleh,.”
Dan kita, yang mendengarnya, diam. Karena dalam diam itu kita tahu: siapa di antara kita yang tak pernah ingin menyerah?
Dari Cerita ke Cita
Siang itu hingga esoknya, acara mengalir seperti sungai Musi. Tenang, tapi membawa muatan. Dari DPD ke DPD, satu per satu bicara. Tapi bukan bicara karena ingin didengar, melainkan karena ingin berbagi. Ada yang bercerita tentang suasana tempat tugasnya yang hanya berdua bersama istri di rumah kecil di kaki bukit. Tentang guru yang tetap mengajar walau tak ada gaji yang jelas. Tentang santri yang tak punya uang tapi punya hafalan beberapa juz Alquran. Tentang masjid yang dibangun dari keringat petugas, dan bukan uang sponsor.
Tak ada yang dramatik. Tak ada tepuk tangan atau standing ovation. Tapi semua hati yang ada di sana tahu, cerita-cerita itu lebih berharga daripada pidato-pidato pejabat yang berserak di televisi.
Dalam diskusi yang sunyi tapi sarat makna, mereka menyusun langkah. Bukan dengan jargon, tapi dengan niat dan hitung-hitungan yang matang. Bahwa untuk membangun masyarakat Qurani, kita tak cukup hanya dengan semangat. Kita perlu sistem. Kita perlu barisan yang lurus.
Lalu satu kalimat menggantung di udara: “Luruskan shaf.”
Ah, betapa dalam makna dua kata itu. Karena hidup ini bukan hanya tentang berada di tempat yang benar, tapi berdiri bersama yang lain, dalam arah yang sama.
Syawal: Nama yang Tak Sia-Sia
Syawal—nama yang punya arti peningkatan. Dan memang, Silaturahim ini bukanlah akhir dari Ramadhan, tapi awal dari perjuangan baru. Setelah puas memintal kesabaran di bulan puasa, kini para dai dan pejuang itu kembali ke medan, ke kampung, ke pelosok—membawa semangat baru.
Di antara gelas kopi yang tinggal setengah, di antara tumpukan catatan dan agenda Munas beberapa bulan mendatang, ada satu hal yang tidak bisa ditulis di buku kerja: keyakinan bahwa selama kita tetap bersama, selama shaf ini tetap lurus, maka Allah akan membuka jalan.
Kampus Pratama Hidayatullah di Ogan Ilir kembali sepi di hari ketiga. Langkah kaki telah pergi, suara tawa telah menghilang. Tapi di udara, ada sesuatu yang tertinggal. Seperti doa yang tak sepenuhnya diucapkan. Seperti rindu yang belum sempat disampaikan.
Dan kampus itu tahu: Silaturahim ini telah mengikatkan kembali benang yang hampir putus. Menghangatkan kembali bara yang nyaris padam.
Penutup yang Tak Selesai
Silaturahim Syawal 1446 Hijriah telah selesai. Tapi perjuangan belum. Barisan ini, shaf ini, harus tetap dirawat. Karena sejarah tak ditulis oleh orang-orang yang bekerja sendiri. Sejarah ditulis oleh mereka yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, kapan harus berbaris, dan kapan harus berjuang bersama.
Dan mungkin, kelak di satu masa yang jauh, anak-anak kita akan membaca cerita tentang orang-orang yang pernah berkumpul di Ogan Ilir. Mereka akan tahu, bahwa sebelum peradaban Islam tumbuh di tanah Sumatera Selatan, ada sekelompok manusia yang pernah memilih untuk tidak menyerah—dan memilih untuk tetap berbaris, dalam lurus yang tak pernah usai.*| al-faqîr ilallâh