![]() |
Jamaah haji berangkat ke tanah suci menggunakan kapal laut pada zaman dulu (troppen museum via republika.co.id) |
Pada awalnya, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda yang menguasai Nusantara, tidak memandang ibadah haji sebagai sesuatu yang berbahaya. Bagi mereka, haji adalah peluang bisnis. Kapal-kapal VOC dengan antusias mengangkut jemaah dari Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi menuju Jeddah, mengantongi keuntungan besar dari setiap perjalanan. Jemaah haji, yang saat itu harus menempuh perjalanan berbulan-bulan melintasi lautan penuh badai dan ancaman perompak, adalah sumber pendapatan yang menggiurkan. Namun, seiring waktu, pandangan ini berubah. Haji tidak lagi hanya soal ibadah atau perdagangan, tetapi juga politik.
Pada abad ke-19, gelombang perlawanan terhadap penjajah mulai mengguncang Nusantara. Perang Jawa (1825–1830), yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, menjadi salah satu pemberontakan terbesar yang membuat Belanda ketar-ketir. Banyak tokoh perlawanan, termasuk para ulama dan kiai yang telah menunaikan haji, menjadi motor penggerak. Di Tanah Suci, para jemaah dari Nusantara berinteraksi dengan ide-ide baru, terutama Pan-Islamisme, sebuah paham yang menyerukan persatuan umat Islam di seluruh dunia untuk melawan penjajahan Barat. Pemikiran ini, yang berkembang di Mekkah dan Madinah, membawa semangat perlawanan yang membara kembali ke kampung halaman.
Belanda, yang mulai menyadari potensi bahaya dari para haji, mengubah strategi mereka. Jika sebelumnya mereka membatasi jumlah jemaah dengan aturan ketat seperti Ordonansi Haji 1825, yang mewajibkan jemaah membayar 110 gulden untuk izin berangkat, kini mereka mengambil pendekatan yang lebih cerdas. Alih-alih melarang haji, yang bisa memicu kemarahan umat Islam, mereka memilih untuk mengawasi. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan memberikan “tanda” kepada setiap jemaah yang pulang dari Tanah Suci: gelar “Haji” dan pakaian khusus seperti jubah, serban putih, atau kopiah putih.
Pada 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indie nomor 42. Aturan ini mengharuskan jemaah yang baru kembali dari Mekkah untuk mengikuti “ujian haji”. Ujian ini bukan sekadar formalitas. Jemaah harus membuktikan bahwa mereka benar-benar telah mengunjungi Tanah Suci, bukan hanya mengaku-aku. Mereka yang lolos ujian berhak menyandang gelar “Haji” dan diwajibkan memakai pakaian khas yang membuat mereka mudah dikenali. Tujuannya jelas: mempermudah pengawasan. Dengan gelar dan atribut ini, Belanda bisa dengan cepat mengidentifikasi siapa saja yang berpotensi menjadi “pengacau” di desa-desa.
Namun, kebijakan ini tidak berjalan tanpa kritik. Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang terkenal karena studinya tentang Islam di Nusantara, menyoroti kelemahan aturan ini. Dalam tulisannya, ia menyatakan bahwa pakaian haji, khususnya serban, bukanlah sesuatu yang eksklusif bagi para haji. Banyak pejabat pribumi, penghulu, bahkan orang Arab Hadramaut yang belum berhaji, juga mengenakan serban sebagai bagian dari tradisi atau adat. Snouck berpendapat bahwa aturan ini justru, tanpa sengaja, memberikan cap kehormatan kepada gelar haji, yang pada akhirnya meningkatkan status sosial para jemaah di mata masyarakat.
Pada awal abad ke-20, Belanda mulai mengubah pendekatan mereka lagi. Konsul Hindia Belanda di Jeddah, menyadari bahwa membatasi haji hanya memicu ketegangan, menyarankan agar prosedur haji justru dipermudah. Logikanya terbalik: dengan meningkatkan jumlah jemaah haji, gelar “Haji” akan menjadi sesuatu yang biasa, tidak lagi istimewa. Jika semua orang bisa menjadi haji, aura kesakralan dan pengaruh para haji di masyarakat akan berkurang. Strategi ini terbukti efektif. Pada 1872, Belanda bahkan membuka Konsulat Jenderal di Arab untuk mencatat pergerakan jemaah dari Hindia Belanda, memastikan setiap jemaah yang pulang mendapat gelar dan atribut yang diwajibkan.
Selain gelar, Belanda juga menerapkan karantina bagi jemaah haji di pulau-pulau terpencil seperti Pulau Onrust dan Pulau Cipir di Kepulauan Seribu. Secara resmi, karantina ini dimaksudkan untuk mencegah penyebaran wabah penyakit seperti pes. Namun, di balik itu, pulau-pulau ini menjadi tempat untuk “memeriksa” jemaah, bahkan mencuci otak mereka agar tidak terpengaruh oleh ide-ide Pan-Islamisme. Pulau Onrust, yang namanya berarti “tanpa istirahat” dalam bahasa Belanda, memang sibuk dengan aktivitas pengawasan. Barak-barak karantina mampu menampung ribuan jemaah, dan jika ada jemaah yang dianggap berbahaya atau meninggal selama karantina, jenazahnya dibuang ke laut dengan batu pemberat agar tidak ditemukan.
Ironisnya, apa yang awalnya dirancang sebagai alat kontrol justru berbalik menjadi simbol prestise. Masyarakat Nusantara mulai memandang gelar “Haji” sebagai tanda kesalehan dan status sosial yang tinggi. Perjalanan haji, yang membutuhkan biaya besar dan waktu berbulan-bulan, hanya mampu dilakukan oleh kalangan tertentu, seperti bangsawan atau pedagang kaya. Ketika seseorang kembali dengan gelar “Haji” dan pakaian khas, mereka dihormati, didengar, dan dianggap sebagai panutan. Gelar ini menjadi semacam “sertifikat” spiritual yang meningkatkan martabat seseorang di mata komunitas.
Tradisi ini terus berlanjut, bahkan setelah Belanda hengkang dan Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang keduanya telah berhaji, tidak hanya membawa gelar “Haji”, tetapi juga semangat perubahan sosial dan perlawanan terhadap kolonialisme. Organisasi-organisasi Islam yang mereka dirikan menjadi bukti bahwa haji tidak hanya soal ibadah, tetapi juga pencerahan dan perjuangan.
Namun, tidak semua sepakat bahwa gelar “Haji” murni warisan Belanda. Sejarawan seperti H Abdul Mun’im DZ dari Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa gelar ini sudah digunakan jauh sebelum Belanda menerapkan ordonansi. Naskah-naskah kuno seperti Babad Cirebon menyebut tokoh seperti “Haji Sunda”, menunjukkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak abad ke-17 atau ke-18. Menurutnya, Belanda hanya memanfaatkan tradisi yang sudah ada untuk kepentingan politik mereka, bukan menciptakannya dari nol.
Dari perspektif agama, pemberian gelar “Haji” juga menuai perdebatan. Sebagian ulama, seperti yang dikutip dari fatwa Lajnah Daimah, berpendapat bahwa gelar ini sebaiknya ditinggalkan karena ibadah haji adalah kewajiban syariat yang tidak memerlukan gelar. Namun, ulama lain, seperti Imam An-Nawawi, memperbolehkan penggunaannya sebagai bagian dari tradisi masyarakat (urf), selama tidak disertai niat riya.
Hingga kini, gelar “Haji” dan “Hajjah” tetap melekat dalam budaya Indonesia, bahkan menyebar ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei. Di Indonesia, gelar ini tidak hanya menandakan seseorang telah menunaikan rukun Islam kelima, tetapi juga mencerminkan status sosial dan ekonomi. Rumah-rumah jemaah haji sering dihias dengan simbol Ka’bah, dan undangan pernikahan kerap mencantumkan “H” atau “Hj” di depan nama. Apa yang dimulai sebagai taktik kolonial kini telah menjadi bagian dari identitas budaya Nusantara, sebuah bukti bahwa sejarah sering kali berputar dengan cara yang tak terduga.*|