Palembang, HidayatullahSumsel.com - Di pagi Syawal yang hangat di sebuah desa kecil di Jepara, Jawa Tengah, kehidupan terasa begitu damai. Suara tawa anak-anak berpakaian baru menyatu dengan sapaan hangat antarwarga yang saling berkunjung. Para orang tua duduk bersila di teras rumah, menyambut tamu yang datang silih berganti. Dengan senyum tulus, mereka saling berjabat tangan dan mengucap “mohon maaf lahir dan batin” — kalimat yang telah menjadi napas dari sebuah tradisi khas Indonesia: halal bihalal.
Tradisi ini bukan sekadar rutinitas tahunan pasca-Idulfitri, tetapi sebuah praktik budaya yang telah mengakar jauh sebelum Republik ini berdiri. Akar sejarahnya bisa ditelusuri hingga masa para Wali Sanga — sembilan penyebar Islam di tanah Jawa pada abad ke-14 hingga ke-16. Sebuah naskah kuno, Mss Jav 10, yang ditulis pada tahun 1794 dalam aksara Carakan (hanacaraka), mengisahkan pertemuan antara Sunan Gunung Jati dan Syaikh Nur Jati untuk tujuan yang disebut “dihalalkan.” Dalam konteks ini, “dihalalkan” berarti membersihkan hati, menyelesaikan perselisihan, dan memperbaiki hubungan sesama manusia setelah bulan Ramadan. Inilah cikal bakal makna halal bihalal sebagaimana dikenal kini.
Tradisi Wali Sanga dan Simbol-Simbol Perdamaian
Di kota pesisir Jepara, tradisi ini juga tercermin dalam manuskrip CS 114 yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI. Tertulis bagaimana masyarakat berkumpul menemui Pangeran Karang Kemuning, menantu Sunan Ampel, untuk melakukan halal bihalal. Istilah tersebut bahkan ditulis secara eksplisit — bukti bahwa praktik ini telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat Jawa. Dalam suasana penuh kehangatan, mereka saling berjabat tangan, meminta maaf, dan menyampaikan niat tulus untuk kembali ke fitrah.
Kisah serupa tercantum dalam naskah Ceritera Hasanuddin yang kini didigitalisasi oleh Bibliothèque nationale de France. Naskah ini tak menyebut istilah “halal bihalal” secara langsung, namun mendeskripsikan interaksi warga Jepara dengan Pangeran Karang Kemuning: bersalaman, saling memaafkan, dan berkumpul dalam semangat silaturahmi. Gestur-gestur sederhana ini menjadi manifestasi nilai luhur yang diwariskan turun-temurun — nilai yang menjunjung kedamaian, persatuan, dan pengampunan.
Salah satu Wali Sanga yang juga memberikan kontribusi besar terhadap budaya ini adalah Sunan Bonang. Ia mendorong masyarakat untuk menutup Ramadan dengan saling memaafkan. Bagi Sunan Bonang, ibadah yang sempurna adalah yang berdampak sosial: membangun keharmonisan, bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga horizontal dengan sesama. Dari sinilah terbentuk pemahaman bahwa halal bihalal bukan ritual kosong, melainkan ikhtiar nyata memperbaiki ikatan sosial.
Baca juga: Menelusuri Data Masjid Al-Haram: Fakta dan Angka di Balik Kemegahannya
Istilah Halal Bihalal dalam Literatur Kolonial
Masuk ke abad ke-20, istilah “halal bihalal” tercatat secara resmi dalam Javaans-Nederlands Handwoordenboek yang disusun oleh Theodoor Gautier Thomas Pigeaud pada tahun 1938. Kamus ini mencantumkan tiga variasi istilah: “alal behalal,” “halal behalal,” dan “halal bahalal.” Ketiganya merujuk pada praktik memaafkan setelah Lebaran, yang pada masa itu telah meluas di kalangan masyarakat Jawa. Fakta bahwa istilah ini masuk dalam kamus resmi kolonial menunjukkan bahwa tradisi ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya.
Dari Budaya Lokal ke Ruang Nasional
Namun, perluasan makna halal bihalal terjadi setelah Indonesia merdeka. Sebuah catatan populer menyebut bahwa K.H. Wahab Chasbullah, tokoh ulama Nahdlatul Ulama, memperkenalkan istilah ini kepada Presiden Soekarno pada tahun 1948. Kala itu, bangsa Indonesia berada dalam situasi politik yang sangat rapuh. Konflik antara kelompok nasionalis dan Islamis sering kali menimbulkan ketegangan, bahkan perpecahan.
Chasbullah, dengan kearifan dan kepeduliannya, mengusulkan diadakannya acara halal bihalal di Istana Negara. Para tokoh politik dari berbagai faksi diundang untuk duduk bersama, berjabat tangan, dan saling memaafkan. Ternyata, acara tersebut berhasil meredam ketegangan — setidaknya untuk sementara — dan menjadi tonggak awal pengakuan nasional terhadap tradisi ini.
Tak lama kemudian, praktik ini menyebar ke berbagai institusi pemerintahan dan lembaga negara. Artikel di surat kabar Belanda, Algemeen Indisch Dagblad, edisi tahun 1950, melaporkan penyelenggaraan halal bihalal di Gedung Parlemen Jakarta. Acara tersebut dihadiri lebih dari 100 tokoh bangsa dan menjadi bukti bahwa tradisi ini telah melampaui batas budaya lokal, bertransformasi menjadi instrumen diplomasi dan rekonsiliasi sosial.
Ciri Khas Indonesia yang Tak Ditemukan di Negara Muslim Lain
Yang menarik, halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia. Negara-negara Arab atau mayoritas Muslim lain tidak mengenal praktik ini. Meski menggunakan kata “halal” yang berasal dari bahasa Arab, istilah “halal bihalal” bukan berasal dari Timur Tengah. Ia merupakan inovasi budaya Nusantara, perpaduan antara ajaran Islam dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Di sinilah terlihat bagaimana Islam berkembang secara dinamis di tanah air, berakulturasi dengan budaya tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Dalam praktiknya, halal bihalal dilakukan selama bulan Syawal, tak lama setelah Idulfitri. Di desa-desa, masyarakat melakukan kunjungan dari rumah ke rumah, membawa hidangan seperti ketupat, opor ayam, atau lepet. Di kota-kota besar, tradisi ini berubah bentuk: digelar di aula kantor, masjid besar, bahkan hotel berbintang — lengkap dengan pidato, pertunjukan musik, hingga pembagian doorprize. Namun, di balik segala format modern itu, inti dari halal bihalal tetap sama: menyatukan hati dan memperkuat Silaturahim.
Antara Nilai dan Kritik Sosial
Seiring waktu, halal bihalal juga mendapat berbagai respons kritis. Beberapa ulama dan pengamat menyoroti bahwa tradisi ini tidak memiliki dasar langsung dalam Al-Qur’an atau hadis. Menunda permintaan maaf hingga Lebaran dianggap tidak ideal menurut ajaran Islam, yang justru mendorong penyelesaian konflik secepatnya.
Kementerian Agama RI pun menanggapi hal ini secara moderat. Dalam berbagai pandangannya, halal bihalal dilihat dari tiga perspektif: hukum Islam, linguistik, dan nilai sosial. Ditekankan bahwa praktik ini lebih bersifat budaya daripada ritual ibadah, namun tetap membawa nilai-nilai Islami seperti silaturahim, perdamaian, dan pengampunan.
Tak hanya dari sisi agama, kritik juga datang dari sisi sosial. Seorang pengguna X (sebelumnya Twitter) dengan nama akun $uper Naga menulis, “Mana ada orang kaya datang ke rumah orang miskin untuk minta maaf, walaupun salah.” Ungkapan ini mencerminkan realitas bahwa praktik halal bihalal tak selalu setara. Dalam beberapa kasus, hierarki sosial masih memengaruhi arah dan pelaksanaan maaf-memaafkan, dan bukan sedikit yang merasa terpaksa melakukannya hanya demi formalitas.
Warisan Sosial dan Kultural yang Perlu Dijaga
Meski tidak lepas dari kritik, halal bihalal tetap menjadi salah satu warisan budaya yang paling hidup di Indonesia. Ia adalah wujud nyata dari kemampuan bangsa ini merajut nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal secara harmonis. Dalam setiap jabat tangan dan senyum tulus, tersimpan niat untuk membuka lembaran baru, membersihkan hati, dan memulai hidup yang lebih baik bersama.
Lebih dari sekadar tradisi tahunan, halal bihalal kini juga menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa. Ia mengajarkan empati, penghargaan terhadap orang lain, serta pentingnya komunikasi yang sehat. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, di mana perbedaan sering kali menjadi sumber gesekan, halal bihalal hadir sebagai jembatan penghubung — antargenerasi, antarstatus sosial, bahkan antaragama.
Dari masa Wali Sanga hingga era digital, dari desa kecil di Jepara hingga gedung parlemen di Jakarta, halal bihalal terus hidup dan tumbuh dan menjadi bagian dari identitas nasional Indonesia. Dan selama semangat memaafkan tetap dijaga, tradisi ini akan terus menjadi penanda kematangan spiritual dan sosial bangsa ini. *|
- Ardi, S. (2025, April 4). Setelah Idulfitri waktunya halal bi halal. Dua sumber sejarah berbahasa Jawa aksara hanacaraka dan pegon menyebutkan bahwa halal bi halal telah dilaksanakan di Jepara, satu sumber sejarah menyebut caranya dengan berjabat tangan meminta maaf. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908064582712631532
- Ardi, S. (2025, April 4). Gambar pertama Mss Jav 10 (1794) berbahasa Jawa aksara hanacaraka berisi pertemuan antara Sunan Makdum/Sunan Gunung Jati dengan Syaikh Nur jati, Sunan Makdum sowan untuk halal b halal, bertemu untuk "dihalalkan", secara konteks untuk dimaafkan. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908067304879042863
- Ardi, S. (2025, April 4). Gambar kedua halaman kanan berasal dari manuskrip CS 114 PNRI, berisi masyarakat Jepara melakukan halal b halal kepada Pangeran Karang Kemuning (halal b halal sami rawuh amarek dhateng Pangeran Karang Kemuning). [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908069215837499762
- Ardi, S. (2025, April 4). Gambar ketiga diambil dari manuskrip Ceritera Hasanuddin yang didigitalisasi Bibliothèque nationale de France. Tidak disebutkan kata halal b halal, tetapi disebutkan warga Jepara bertemu Pangeran Kemuning sambil berjabat tangan meminta maaf. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908070568378941892
- Ardi, S. (2025, April 4). Berdasarkan manuskrip CS PNRI 114 dan Ceritera Hasanuddin, dapat ditarik benang merah bahwa orang-orang Jepara bertemu dengan menantu Sunan Ampel, yaitu Pangerang Karang Kemuning, untuk melakukan halal b halal. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908071234161746129
- Ardi, S. (2025, April 4). Jika ketiga manuskrip digabungkan untuk ditarik benang merah, tradisi halal b halal sudah ada sejak era Wali Sanga. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908072612145799442
- Ardi, S. (2025, April 4). Jadi tidak benar artikel di @nu_onlineJombang yang menyatakan pencetus halal b halal, saling bermaaf-maafan antar orang adalah K.H. Wachab Hasbullah.
- @nu_online
- Jombang yang menyatakan pencetus halal b halal, saling bermaaf-maafan antar orang adalah K.H. Wachab Hasbullah. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908073942700761331
- Ardi, S. (2025, April 5). Utas di bawah, saya jelaskan halal b halal secara istilah & perbuatan merupakan hal yg sudah lama di pulau Jawa. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908324898650677732
- Ardi, S. (2025, April 5). Bukti yang saya maksud berasal dari sebuah kamus berjudul Javaans-Nederlands Handwoordenboek karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud yang diterbitkan tahun 1938. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908326508701376645
- Ardi, S. (2025, April 5). Pada kamus terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan halal b halal, yaitu istilah alal behalal, halal behalal, dan halal bahalal. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908327268885352468
- Ardi, S. (2025, April 5). Istilah pertama alal behalal berada di bawah kamus urutan huruf "a", di sana tertulis bahwa alal behalal berarti meminta maaf kepada orang yang usianya lebih tua maupun orang lain setelah puasa atas kesalahan yang diperbuat. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908328296594760151
- Ardi, S. (2025, April 5). Istilah kedua dan ketiga berada di bawah urutan huruf "h", berada di bawah kata halal. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908329468491604020
- Ardi, S. (2025, April 5). Berdasarkan hal tersebut, istilah dan perbuatan halal b halal sudah ada dan telah dilakukan masyarakat luas sebelum (konon menurut @nu_online) dicetuskan KH. Wachab Hasbullah kepada presiden Soekarno.
- @nu_online
- ) dicetuskan KH. Wachab Hasbullah kepada presiden Soekarno. [Post]. X. https://x.com/Sam_Ardi/status/1908330212473049223
- Faisol, M. (2025, April 5). Tampaknya terjadi distorsi dari kisah tutur ini. Yg seharusnya mbah wahab sbg pencetus seremoni halal bi halal di kalangan eksekutif & yudikatif. [Post]. X. https://x.com/faisol762/status/1908328796929089551
- IdonNara. (2025, April 5). Halal b halal lebih menunjukan keadaan status sosial seseorang. [Post]. X. https://x.com/IdonNara/status/1908337610256507084
- Pokamiami. (2025, April 5). Istilah "Minal Aidin wal Faidzin" hanya populer di Indonesia lalu meluas ke Asia Tenggara. [Post]. X. https://x.com/pokamiami/status/1908341634326290548
- Wikipedia. (2025, March 9). Wali Sanga. Diakses pada 5 April 2025, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Wali_Sanga
- Wikipedia. (2025, January 22). Sunan Gunung Jati. Diakses pada 5 April 2025, dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati
- Priyanto, H. (2025, March 3). Sejarah Syiar Islam di Jepara yang Terlupakan: Jejak Sunan di Karang Kemuning. SuaraBaru.id. Diakses pada 5 April 2025, dari https://suarabaru.id/sejarah-syiar-islam-di-jepara-yang-terlupakan-jejak-sunan-di-karang-kemuning
- Wikipedia. (2025, March 27). Bibliothèque nationale de France. Diakses pada 5 April 2025, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Bibliothèque_nationale_de_France